Rabu, 27 Desember 2017

PMRI



A. DASAR FILOSOFIS PMR.
Dalam filsafat pendidikan matematika, yaitu pemikiran reflektif tentang pendidikan matematika, perlu menyadari komponen-komponen yang ada dalam pendidikan matematika. Komponen-komponen itu adalah (1) materi matematika, (2) anak yang belajar, (3) sekolah & guru yang “mengajar” dan (4) realitas lingkungan yang ada. Komponen-komponen itu perlu saling terkait atau dikaitkan secara bermanfaat.
Khusus tentang materi matematika, orang selama ini, sadar atau tidak memandangnya sebagai “alat”, jadi dikatakan “mathematics as a tool”. Pandangan atau anggapan semacam itu sama sekali tidaklah salah dan sama sekali juga tidak harus dibuang. Hal yang perlu disadari adalah penempatannya. Kalau dalam pembelajaran seorang guru cenderung menganggap matematika sebagai alat, tidaklah mustahil anak akan lebih mengutamakan “pokok bisa pakai” atau “pokok bisa selesaikan soal” cukup menghafal. PMR tidak memandang matematika sedemikian itu, tetapi memandang matematika sebagai kegiatan manusia atau “mathematics as human activity”. Ini lebih sesuai dengan tumbuhnya atau munculnya matematika di berbagai bagian dunia. Sejarah matematika akan memperjelas hal itu. Karena adanya tantangan hiduplah manusia berupaya untuk mengatasinya. Pandangan itulah yang kemudian dinilai lebih tepat untuk melaksanakan pendidikan matematika, lebih-lebih diawal pendidikan matematika, yang objeknya abstrak itu. Sesuai dengan pandangan itu atau filsafat itu, maka dalam PMR diupayakan semaksimal mungkin anak aktif dan membangun sendiri pengetahuannya. Dengan demikian dasar filosofis PMRI adalah bahwa Matematika adalah kegiatan manusia dan sekaligus sebagai alat. Ini berarti bahwa perlu menempatkan kedua pandangan itu pada tempat yang cocok/sesuai dengan perkembangan jiwa peserta didik.

B. DASAR TEORETIK atau Prinsip PMR.
1). Guided Re-invention atau menemukan kembali secara terbimbing.
Melalui penemuan kembali topik-topik tertentu yang telah ditentukan, siswa diberi kesempatan yang sama untuk membangun dan menemukan kembali ide-ide matematika. Setiap siswa diberi kesempatan sama untuk merasakan situasi danmengalami masalah kontekstual yang mmiliki berbagai kemungkinan solusi. Bila diperlukan dapat diberikan bimbingan yang diperlukan. Jadi pembelajaran tidak diawali dari “sifat” atau “definisi” atau “teorema” atau “aturan” dan diikuti dengan “contoh=contoh” serta “penerapannya”, tetapi justru dimulai dengan masalah kontekstual atau real/nyata meski hanya dengan memba yangkannya, dan selanjutnya melalui aktivitas siswa diharapkan dapat menemukan kembali sifat,definisi dan lainnya itu. Hal terakhir menunjukkan kesesuiannya dengan paham konstruktivisme yang meyakini bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer dari seseorang kepada orang lain tanpa aktivitas yang dilakukan sendiri oleh orang yang akan mengetahui pengetahuan tersebut.
2) Didactical Phenomenology atau fenomenologi didaktik.
Prinsip ini menekankan fenomena pembelajaran yang bersifat mendidik dan menekankan pentingnya masalah kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa. Masalah kon tektual dipilih dengan mempertimbangkan aspek kecocokan aplikasi yang harus diantisipasi dalam pembelajaran dan kecocokan dengan proses re-invention yang berarti bahwa aturan/cara, atau konsep atau sifat termasuk model matematika tidak disediakan atau diajarkan oleh guru tetapi siswa perlu berusaha sendiri untuk menemukan atau membangun sendiri dengan berpangkal dari masalah kontektual yang diberikan. Ini akan menimbulkan “learning trajectory” / lintasan belajar yang akan menuju tujuan yang ditetapkan.Tidak mustahil lintasan belajar itu untuk setiap siswa bisa berbeda meskipun akan mencapai tujuan yang sama. Ini berarti bahwa pembelajaran tidak lagi terpusat pada guru tetapi akan berpusat pada siswa bahkan dapat juga disebut berpusat pada masalah kontekstual yang dihadapi. Masalah kontekstual dapat juga untuk memantapkan pemahaman sesuatu yang telah didapatnya.

C. DASAR APLIKATIF atau Karakteristik PMR
1) Menggunakan konteks.
Pembelajaran menggunakan masalah kontekstual. Kontekstual yang dimaksud adalah lingkungan siswa yang nyata baik aspek budaya maupun aspek geografis.. Didalam matematika hal itu tidak selalu diartikan “konkret” tetapi dapat juga yang telah dipahami siswa atau dapat dibayangkan. Masalah kontekstual biasanya dikemukakan di awal pembelajaran. Namun demikian masalah dapat saja disajikan di tengah atau di akhir pembelajaran suatu topik atau sub topik. Masalah kontekstual disajikan di awal pembelajaran, bila dimaksudkan untuk memungkinkan siswa membangun/menemukan sesuatu konsep, definisi, operasi ataupun sufat matematika serta cara pemecahan masalah itu.
2) Menggunakan model
Dalam pembelajaran matematika sering perlu melalui waktu yang panjang serta bergerak dari berbagai tingkat abstraksi. Dalam abstraksi itu perlu menggunakan model. Model itu dapat bermacam-macam, dapat konkret berupa benda, gambar, skema, yang kesemuanya itu dimaksudkan sebagai jembatan dari konkret ke abstrak atau dari abstrak ke abstrak yang lain. Dikenal model yang serupa atau mirip dengan masalah nyatanya, yang disebut “model of” dan dikenal juga model yang mengarahkan ke pemikiran abstrak atau formal, yang disebut “model for”.
3) Menggunakan kontribusi siswa.
Dalam pembelajaran perlu sekali memperhatikan sumbangan atau kontribusi siswa yang mungkin berupa ide, gagasan ataupun aneka jawab/cara. Konstribusi siswa itu dapat menyumbang kepada konstruksi atau produksi yang perlu dilakukan/dihasilkan sehubungan denagn pemecahan masalah kontekstual.
4) Interaktivitas.
Dalam pembelajaran jelas perlu sekali melaksanakan interaksi, baik antara siswa dan siswa ataupun bila perlu antara siswa dan guru yang bertindak sebagai fasilitator. Interaksi itu juga mungkin terjadi antara siswa dengan sarana atau antara siswa dengan matematika ataupun dengan lingkungan. Bentuk interaksi itu dapat juga macam-macam, misalnya diskusi, negosiasi, memberi penjelasan atau komunikasi.

D. Dampak (implikasi) PMR
1. Dampak pada kegiatan guru
Di atas telah disinggung bahwa dalam melaksanakan PMR guru perlu mengubah kebiasaannya mengajar, yang biasanya bersifat ”menggurui”. Kebiasaan itu perlu beralih kepada guru mempersiapkan pembelajarannya dengan menyiapkan atau membuat masalah kontekstual sesui dengan topik atau sub topik yang diharapkan untuk dipecahkan oleh siswa sendiri. Jadi guru menyiapkan diri umtuk memandu siswa, bila perlu, sehingga kegiatan beralih kepada siswa belajar mandiri
untuk memecahkan masalah kontekstual itu ataupun menemukan sesuatu. Guru harus lebih dahulu memilih mana dari pemgetahuan atau topik/sub topik yang diharapkan akan dibangun oleh anak atau siswa. Mungkin pengetahuan itu adalah konsep, operasi, sifat ataupun cara pemecahan masalah yang diharapkan akan dibangun anak atau siswa. Sudah barang tentu jangan sampai materi yang diharapkan dibangun oleh anak/siswa dimuat dalam buku siswa ataupun LKS yang terkait. Tetapi jelas harus dimuat dalam buku guru, mungkin sebagai salah satu alternatif jawaban yang diperkirakan akan dibangun oleh anak/siswa. Lain halnya untuk masalah kontekstual yang disajikan ditengah pembelajaran topik/sub topik yang dimaksud. Dalam hal ini masalah yang utama adalah pemantapan terhadap pengetahuan yang telah ditemukannya atau yang telah dibangunnya. Lain halnya dengan masalah kontekstual yang ditempatkan di bagian akhir pembelajaran suatu topik/sub topik. Dalam hal tersebut yang diutamakan adalah kemampuan anak/siswa mengaplikasikan atau menggunakan pengetahuan yang telah ditemukannya atau dibangunnya.
2. Dampak pada kegiatan siswa
Dari keterangan tentang dampak pada kegiatan guru, kiranya juga telah terlihat bahwa kegiatan siswa/anak juga berbeda dengan kebiasaan pembelajaran selama ini. Pertama sewaktu menerima masalah kontekstual dari guru, secara mandiri atau berkelompok para siswa mencoba menjawab atau memecahkan masalah itu dengan caranya sendiri. Disinilah kemungkinan ada beraneka macam model yang dibuat oleh masing-masing anak. Jadi divergensi jawaban anak atau divergensi cara menjawab masalah dapat muncul. Mungkin sekali semua itu benar, sehingga anak dibiasakan untuk menghargai pendapat sesama teman. Model yang masih mirip dengan benda atau masalah aslinya, disebut ”model of”. Jika siswa setelah mencoba tetap tidak menemukan jalan pemecahan masakah kontekdtual, maka siswa dapat bertanya seperlunya kepada guru atau teman dengan ijin dari guru. Hasil kerja siswa atau kelompok siswa kemudian ditampilkan kepada semua anggota kelas, untuk mendapat tanggapan atau kritik dari anggota kelas. Dengan demikian siswa sangat aktif memikirkan atau mengerjakan masalah kontekstual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Konduktor Isolator

konduktor Konduktor atau penghantar adalah zat atau bahan yang bersifat dapat menghantarkan energy, baik energy listrik maupun energy...