A. DASAR FILOSOFIS PMR.
Dalam filsafat pendidikan matematika, yaitu pemikiran reflektif
tentang pendidikan matematika, perlu menyadari komponen-komponen yang ada dalam
pendidikan matematika. Komponen-komponen itu adalah (1) materi matematika, (2)
anak yang belajar, (3) sekolah & guru yang “mengajar” dan (4) realitas
lingkungan yang ada. Komponen-komponen itu perlu saling terkait atau dikaitkan
secara bermanfaat.
Khusus tentang materi matematika, orang selama ini, sadar atau
tidak memandangnya sebagai “alat”, jadi dikatakan “mathematics as a tool”.
Pandangan atau anggapan semacam itu sama sekali tidaklah salah dan sama sekali
juga tidak harus dibuang. Hal yang perlu disadari adalah penempatannya. Kalau
dalam pembelajaran seorang guru cenderung menganggap matematika sebagai alat,
tidaklah mustahil anak akan lebih mengutamakan “pokok bisa pakai” atau “pokok
bisa selesaikan soal” cukup menghafal. PMR tidak memandang matematika
sedemikian itu, tetapi memandang matematika sebagai kegiatan manusia atau
“mathematics as human activity”. Ini lebih sesuai dengan tumbuhnya atau
munculnya matematika di berbagai bagian dunia. Sejarah matematika akan
memperjelas hal itu. Karena adanya tantangan hiduplah manusia berupaya untuk
mengatasinya. Pandangan itulah yang kemudian dinilai lebih tepat untuk melaksanakan
pendidikan matematika, lebih-lebih diawal pendidikan matematika, yang objeknya
abstrak itu. Sesuai dengan pandangan itu atau filsafat itu, maka dalam PMR
diupayakan semaksimal mungkin anak aktif dan membangun sendiri pengetahuannya.
Dengan demikian dasar filosofis PMRI adalah bahwa Matematika adalah
kegiatan manusia dan sekaligus sebagai alat. Ini berarti bahwa perlu
menempatkan kedua pandangan itu pada tempat yang cocok/sesuai dengan
perkembangan jiwa peserta didik.
B. DASAR TEORETIK atau Prinsip PMR.
1). Guided Re-invention atau menemukan kembali secara terbimbing.
Melalui penemuan kembali topik-topik tertentu yang telah
ditentukan, siswa diberi kesempatan yang sama untuk membangun dan menemukan
kembali ide-ide matematika. Setiap siswa diberi kesempatan sama untuk merasakan
situasi danmengalami masalah kontekstual yang mmiliki berbagai kemungkinan
solusi. Bila diperlukan dapat diberikan bimbingan yang diperlukan. Jadi
pembelajaran tidak diawali dari “sifat” atau “definisi”
atau “teorema” atau “aturan” dan diikuti dengan
“contoh=contoh” serta “penerapannya”, tetapi
justru dimulai dengan masalah kontekstual atau real/nyata meski hanya
dengan memba yangkannya, dan selanjutnya melalui aktivitas siswa diharapkan
dapat menemukan kembali sifat,definisi dan lainnya itu. Hal terakhir
menunjukkan kesesuiannya dengan paham konstruktivisme yang meyakini bahwa
pengetahuan tidak dapat ditransfer dari seseorang kepada orang lain tanpa
aktivitas yang dilakukan sendiri oleh orang yang akan mengetahui pengetahuan
tersebut.
2) Didactical Phenomenology atau fenomenologi didaktik.
Prinsip ini menekankan fenomena pembelajaran yang bersifat
mendidik dan menekankan pentingnya masalah kontekstual untuk memperkenalkan
topik-topik matematika kepada siswa. Masalah kon tektual dipilih dengan
mempertimbangkan aspek kecocokan aplikasi yang harus diantisipasi dalam
pembelajaran dan kecocokan dengan proses re-invention yang berarti bahwa
aturan/cara, atau konsep atau sifat termasuk model matematika tidak
disediakan atau diajarkan oleh guru tetapi siswa perlu berusaha sendiri
untuk menemukan atau membangun sendiri dengan berpangkal dari masalah
kontektual yang diberikan. Ini akan menimbulkan “learning trajectory” /
lintasan belajar yang akan menuju tujuan yang ditetapkan.Tidak mustahil
lintasan belajar itu untuk setiap siswa bisa berbeda meskipun akan mencapai
tujuan yang sama. Ini berarti bahwa pembelajaran tidak lagi terpusat pada guru
tetapi akan berpusat pada siswa bahkan dapat juga disebut berpusat pada masalah
kontekstual yang dihadapi. Masalah kontekstual dapat juga untuk memantapkan
pemahaman sesuatu yang telah didapatnya.
C. DASAR APLIKATIF
atau Karakteristik PMR
1) Menggunakan konteks.
Pembelajaran menggunakan masalah kontekstual. Kontekstual yang
dimaksud adalah lingkungan siswa yang nyata baik aspek budaya maupun aspek
geografis.. Didalam matematika hal itu tidak selalu diartikan “konkret”
tetapi dapat juga yang telah dipahami siswa atau dapat dibayangkan. Masalah
kontekstual biasanya dikemukakan di awal pembelajaran. Namun demikian masalah
dapat saja disajikan di tengah atau di akhir pembelajaran suatu topik atau sub
topik. Masalah kontekstual disajikan di awal pembelajaran, bila dimaksudkan
untuk memungkinkan siswa membangun/menemukan sesuatu konsep, definisi, operasi
ataupun sufat matematika serta cara pemecahan masalah itu.
2) Menggunakan model
Dalam pembelajaran matematika sering perlu melalui waktu yang
panjang serta bergerak dari berbagai tingkat abstraksi. Dalam abstraksi itu
perlu menggunakan model. Model itu dapat bermacam-macam, dapat konkret berupa
benda, gambar, skema, yang kesemuanya itu dimaksudkan sebagai jembatan dari
konkret ke abstrak atau dari abstrak ke abstrak yang lain. Dikenal model yang
serupa atau mirip dengan masalah nyatanya, yang disebut “model of” dan dikenal
juga model yang mengarahkan ke pemikiran abstrak atau formal, yang disebut
“model for”.
3) Menggunakan kontribusi siswa.
Dalam pembelajaran perlu sekali memperhatikan sumbangan atau
kontribusi siswa yang mungkin berupa ide, gagasan ataupun aneka jawab/cara.
Konstribusi siswa itu dapat menyumbang kepada konstruksi atau produksi yang
perlu dilakukan/dihasilkan sehubungan denagn pemecahan masalah kontekstual.
4) Interaktivitas.
Dalam pembelajaran jelas perlu sekali melaksanakan interaksi, baik
antara siswa dan siswa ataupun bila perlu antara siswa dan guru yang bertindak
sebagai fasilitator. Interaksi itu juga mungkin terjadi antara siswa dengan
sarana atau antara siswa dengan matematika ataupun dengan lingkungan. Bentuk
interaksi itu dapat juga macam-macam, misalnya diskusi, negosiasi, memberi
penjelasan atau komunikasi.
D. Dampak (implikasi) PMR
1. Dampak pada kegiatan guru
Di atas telah disinggung bahwa dalam melaksanakan PMR guru perlu mengubah
kebiasaannya mengajar, yang biasanya bersifat ”menggurui”. Kebiasaan itu perlu
beralih kepada guru mempersiapkan pembelajarannya dengan menyiapkan atau
membuat masalah kontekstual sesui dengan topik atau sub topik yang diharapkan
untuk dipecahkan oleh siswa sendiri. Jadi guru menyiapkan diri umtuk memandu
siswa, bila perlu, sehingga kegiatan beralih kepada siswa belajar mandiri
untuk memecahkan masalah kontekstual itu ataupun menemukan
sesuatu. Guru harus lebih dahulu memilih mana dari pemgetahuan atau topik/sub
topik yang diharapkan akan dibangun oleh anak atau siswa. Mungkin pengetahuan
itu adalah konsep, operasi, sifat ataupun cara pemecahan masalah yang
diharapkan akan dibangun anak atau siswa. Sudah barang tentu jangan sampai
materi yang diharapkan dibangun oleh anak/siswa dimuat dalam buku siswa ataupun
LKS yang terkait. Tetapi jelas harus dimuat dalam buku guru, mungkin sebagai
salah satu alternatif jawaban yang diperkirakan akan dibangun oleh anak/siswa.
Lain halnya untuk masalah kontekstual yang disajikan ditengah
pembelajaran topik/sub topik yang dimaksud. Dalam hal ini masalah yang utama
adalah pemantapan terhadap pengetahuan yang telah ditemukannya atau yang
telah dibangunnya. Lain halnya dengan masalah kontekstual yang ditempatkan
di bagian akhir pembelajaran suatu topik/sub topik. Dalam hal tersebut yang
diutamakan adalah kemampuan anak/siswa mengaplikasikan atau menggunakan
pengetahuan yang telah ditemukannya atau dibangunnya.
2. Dampak pada kegiatan siswa
Dari keterangan tentang dampak pada kegiatan guru, kiranya juga
telah terlihat bahwa kegiatan siswa/anak juga berbeda dengan kebiasaan
pembelajaran selama ini. Pertama sewaktu menerima masalah kontekstual dari
guru, secara mandiri atau berkelompok para siswa mencoba menjawab atau memecahkan
masalah itu dengan caranya sendiri. Disinilah kemungkinan ada beraneka macam
model yang dibuat oleh masing-masing anak. Jadi divergensi jawaban anak atau
divergensi cara menjawab masalah dapat muncul. Mungkin sekali semua itu benar,
sehingga anak dibiasakan untuk menghargai pendapat sesama teman. Model yang
masih mirip dengan benda atau masalah aslinya, disebut ”model of”. Jika siswa
setelah mencoba tetap tidak menemukan jalan pemecahan masakah kontekdtual, maka
siswa dapat bertanya seperlunya kepada guru atau teman dengan ijin dari guru.
Hasil kerja siswa atau kelompok siswa kemudian ditampilkan kepada semua anggota
kelas, untuk mendapat tanggapan atau kritik dari anggota kelas. Dengan demikian
siswa sangat aktif memikirkan atau mengerjakan masalah kontekstual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar